Konsumtif VS Fungsionalis
6:22 AM | Author: Luke
Berita tentang pembelian Laptop oleh para pejabat negara tampaknya bukanlah isu yang baru. Bahkan cenderung basi. Masih tersisa dalam ingatan kita di tahun 2007 tentang rencana pembelian laptop untuk 550 wakil rakyat yang berkantor di Senayan, Jakarta. Hampir saja Rp 12,1 Miliar uang rakyat dibelanjakan untuk penyediaan laptop tersebut. Itu berarti anggaran untuk 1 laptop yaitu Rp 22 Juta. Di tahun 2008 giliran lembaga Kejaksaan Agung membelanjakan kira – kira Rp 9,332 Miliar untuk membeli 450 laptop. Jika dikalkulasi harga 1 laptop berkisar Rp 20,737 juta lebih. Berdasarkan yang tercatat pada kompas edisi cetak terbitan 2 Maret 2009, jenis laptop yang dibeli oleh Kejaksaan Agung yaitu Dell Latitude tipe D630C dengan spesifikasi Intel Core 2 Duo, harddisk 160 gigabyte dengan layar monitor berukuran 14 inci.

Bagi kebanyakan orang, angka Rp 12,1 Miliar atau pun Rp 9,3 Miliar adalah angka yang fantastis. Lantas rakyat melalui pers dan LSM yang berkepentingan mempertanyakan penting atau tidaknya pembelian laptop. Sehingga, dengan alasan pemborosan maka kebijakan penyediaan laptop urung dilaksanakan. Atau jika kebijakan itu terus dieksekusi, maka banyak pihak menanyakan efektifitas dan efisiensi kebijakan tersebut.

Jika seandainya kita mengabaikan faktor fungsional laptop dan berasumsi bahwa para pejabat Negara membutuhkan laptop untuk meningkatkan kinerjanya, maka pertanyaan yang patut ditanyakan adalah apakah lembaga – lembaga negara harus mengeluarkan dana kurang lebih Rp 20 juta untuk 1 laptop ? Bukankah laptop dengan harga Rp 8 juta dengan kinerja mirip lebih layak dipertimbangkan ?

Alasan pembelian laptop dengan merek dan spesifikasi tertentu dengan anggaran yang selangit seolah – olah membongkar perilaku dan mentalitas konsumtif bangsa. Pilihan merek yang dibuat oleh lembaga negara mencerminkan cara memilih rakyatnya.

Mengapa pilihan Dell Latitude tipe D630C dengan harga kira – kira US$ 11.062 mencerminkan perilaku dan mental konsumtif ?

Alasannya sederhana. Pilihan yang dibuat tidak berdasarkan fungsionalitas suatu produk. Kebanyakan orang di Indonesia membeli produk – produk elektronik berdasarkan tren atau mode. Mereka tidak peduli dengan alasan fungsional pembelian produk tersebut, namun lebih memilih mengikuti perkembangan teknologi terkini. Sebagai contoh, seorang mahasiswi jurusan manajemen ekonomi yang bukan penggemar computer game tetap memilih laptop high end dengan spesifikasi tinggi dan harga premium dengan alasan 2 atau 3 tahun lagi laptop tersebut tetap up to date alias tidak ketinggalan jaman. Bukankah secara fungsional, ia hanya memanfaatkan laptop itu sehari – hari hanya untuk fungsi office dan sesekali internet ? Padahal jika ia mau memilih produk sesuai dengan fungsi yang ia butuhkan maka ia dapat menghemat kira – kira 40 %. Ibarat seorang anak kecil yang ingin bermain sepak bola meminta bapaknya untuk membuat sebuah stadion sepak bola.

Membeli berdasarkan tren tanpa melihat secara cermat kebutuhan fungsionalitasnya sesungguhnya adalah perilaku dan mental konsumtif. Perilaku yang demikianlah yang justru tidak mendukung perekonomian bangsa, karena akhirnya mekanisme pasar yang tercipta hanyalah untuk memuaskan kebutuhan masyarakat akan tren bukan untuk sesuatu yang benar – benar berguna. Seorang bijak pernah berkata, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” Mental inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap elemen bangsa ini. Mentalitas yang fungsional. Melihat dan memilih untuk membelanjakan uangnya berdasarkan sesuatu yang benar – benar ia butuhkan. Sebuah perilaku yang bertanggung jawab dengan memilih berhemat dan mencukupkan diri. Mari kita bayangkan jika bangsa kita memiliki pola pikir demikian, maka mungkin listrik akan terus menyala karena pasokan cukup atau belanja negara akan hemat luar biasa. (luk)

This entry was posted on 6:22 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: